Jumat, 31 Mei 2013

Tahlilan

Akhir-akhir ini kita sering mendengar kegiatan tahlil bersama, sehubungan dengan perginya orang penting di negara ini.
Kegiatan tahlilan marak dilakukan oleh sebagian orang yang ingin mendoakan agar amal ibadah yang bersangkutan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Saya tidak ingin berpolemik dengan membahas tentang si orang penting ini, tetapi ingin sekedar membagi yang saya baca, mengenai prosesi tahlilan tersebut. Benarkah amaliah ini benar-benar di syariatkan oleh agama ini? Dan benarkah bahwa imam Syafi’i yang diklaim sebagai madzab yang diikuti oleh sebahagian besar oleh umat Islam di negeri ini menganjurkannya atau justru MELARANGNYA?
Dalam sebuah kitab kecil, selamatan kematian atau yang biasa kita sebut tahlilan dibahas secara singkat dan padat, khususnya dari pandangan imam Syafi’i sendiri. Tujuannya adalah untuk meluruskan pemahaman yang keliru dari kegiatan ini.
Ternyata kegiatan tahlilan ini dari sejak jaman sahabat dianggap sebagai kegiatan meratap yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Dari Jabir bin Abdillah Al Bajaliy, ia berkata:”Kami  (yakni para Sahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut mazhab kami para Sahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no 1612) dengan derajat yang shahih.
Dan an niyahah/ meratap ini  adalah perbuatan jahiliyyah yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam;
Diriwayatkan dalam sahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu anhu. bahawa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam  bersabda:
“Ada dua perkara yang masih dilakukan oleh manusia, yang kedua duanya merupakan bentuk kekufuran: mencela keturunan, dan meratapi orang mati”.
Pandangan Imam Syafii.
Nah, bagaimana dengan pandangan imam Syafii sendiri –yang katanya- mayoritas ummat Islam di Indonesia bermadzab dengannya, apakah ia sepakat dengan kebanyakan kaum muslimin ini atau justru beliau sendiri yang melarang kegiatan tahlilan ini?
Didalam kitab al Umm (I/318), telah berkata imam Syafii berkaitan dengan hal ini;
“Aku benci al ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbahrui kesedihan.”
Jadi, imam Syafii sendiri tidak suka dengan kegiatan tahlilan yang dilakukan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh ummat Islam sendiri.
Membaca Al Qur’an untuk orang mati (menurut Imam Syafi’i).
Dalam Al Qur’an, di surat An Najm ayat 38 dan 39 disebutkan disana;
[53.38] (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain,
[53.39] dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.
Berkaitan dengan hal ini maka Al Hafidh Ibnu Katsir menafsirkannya sebagai berikut;
“Yaitu, sebagaimana seseorang tidak akan memikul dosa orang lain, demikian juga seseorang tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kecuali apa-apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri.
Dan dari ayat yang mulia ini, al Imam Asy Syafii bersama para ulama yang mengikutinya telah mengeluarkan suatu hukum: Bahwa Al Qur’an tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati.
Karena bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam tidak pernah mensyariatkan umatnya (untuk menghadiahkan bacaan Qur’an kepada orang yang telah mati) dan tidak juga pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka dengan baik dengan nash (dalil yang tegas dan terang) dan tidak juga dengan isyarat (sampai-sampai dalil isyarat pun tidak ada).
Dan tidak pernah dinukil dari seorang pun Sahabat (bahwa mereka pernah mengirim bacaan Al Qur’an kepada orang yang telah mati).
Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentu para Sahabat telah mendahului kita  mengamalkannya.
Dan dalam masalah peribadatan hanya terbatas kepada dalil tidak bileh dipalingkan dengan bermacam qiyas dan ra’yu (pikiran).”
Jadi, dari keterangan ibnu Katsir ini jelas bahwa perbuatan membaca Al Qur’an dengan tujuan pahalanya disampaikan kepada si mayit tidak akan sampai, dan demikianlah pandangan ulama besar yang dianut oleh sebahagian besar kaum muslimin di negeri ini.
Lantas, mengapa mereka berbeda dengan imam mereka sendiri?
Wallahu a’lam.

Kamis, 30 Mei 2013

Sholat menurut Imam Syafi'i

 Bacaan sholat (imam Syafi'i)

قال الشافعي: والنية لا تقوم مقام التكبير ولا تجزيه النية إلا أن تكون مع التكبير لا تتقدم التكبير ولا تكون بعده

Niat itu tidak dapat menggantikan takbir. Niat itu tiada memadai, selain bahwa ada bersama takbir. Ia tidak mendahului takbir dan tidak sesudah takbir.

Siapa Penggagas Niat ?

Lafadz niat sangat masyhur dinisbatkan kepada mazhab Syafi’i, hal ini karena Abu Abdillah Al Zubairi yang masih termasuk dalam ulama mazhab Syafi’i telah menyangka bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah telah mewajibkan untuk melafazkan niat ketika shalat.
Sebabnya adalah pemahamannya yang keliru dalam mengiterpretasikan perkataan Imam Syafi’i yakni redaksi sebagai berikut:” Jika seseorang berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafazkan.Tidak seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan AL NUTHQ (diartikan oleh Al Zubairi dengan melafazkan, sedangkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ disini adalah takbir) [al Majmuu' II/43]
An Nawawi (seorang ulama pembesar mazhab Syafi’i) berkata: “Beberapa rekan kami berkata: “Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang dikehendaki oleh As Syafi’i dengan kata AL NUTHQ di dalam shalat, melainkan yang dimaksud dengan AL NUTHQ oleh beliau adalah takbir. [al Majmuu' II/43; lihat juga al Ta'aalaim :syaikh Bakar Abu Zaid:100]
Ibn Abi Izz Al Hanafi berkata : “Tidak ada seorang ulamapun dari imam 4 (madzhab), tidak juga Imam Syafi’i atau yang lainnya yang mensyaratkan lafaz niat.Menurut kesepakatan mereka, niat itu tempatnya dihati.Hanya saja sebagian ulama belakangan mewajibkan seseorang melafazkan niatnya dalam shalat. Dan pendapat ini dinisbatkan sebagai mazhab Syafi’i. Imam An Nawawi rahimahullahu berkata :”Itu tidak benar” (Al Itbaa’ :62)
Ibn Qoyyim berkata :”Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam jika hendak mengerjakan shalat,maka dia mengucapkan Allahu Akbar.dan beliau tidak mengucapkan lafaz apapun sebelum itu dan tidak pernah melafazkan niat sama sekali. Beliau juga tidak mengucapkan:
“ushali lillah shalaata kadzaa mustaqbilal qiblah arba’a raka’at imaaman aw ma’muuman (artinya :aku berniat mengerjakan shalat ini dan itu karena Allah,menghadap kiblat sebanyak 4 raka’at sebagai imam atau makmum).
Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan adaa’aa atau qadhaa’an (artinya melakukannya secara tepat waktu atau qadha’). Dan tidak pernah juga menyebutkan kefardhuan waktu shalat. Semua itu adalah bid’ah yang tidak ada sumbernya dari seorangpun baik dengan sanad yang sahih,dhaif,musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (ada perawi yang gugur dalam sanadnya). Bahkan tidak juga dinukil dari seorang sahabat nabi,para tabi’in dan imam 4 (mazhab).
Pendapat ini muncul akibat sebagian ulama belakangan yang terkecoh dengan perkataan Imam Syafi’I radhiallahu anhu didalam masalah shalat. Redaksinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya shalat tidak sama dengan puasa.Tidak ada seorangpun yang akan memasuki shalat kecuali dengan DZIKIR.”Kata dzikir disini dikira pe-lafaz-an niat oleh orang yang shalat.Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi’i dengan kata dzikir disini adalah TAKBIRATUL IHRAM. Bagaimana mungkin Imam Syafi’I mensunahkan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, tidak juga oleh para khulafa’nya, dan para shahabatnya. Demikianlah jalan hidup dan petunjuk yang mereka ajarkan,jika memang ada seseorang membawa berita satu huruf saja yang berasal dari beliau,maka kita akan menerimanya karena tidak ada petunjuk yang lebih sempurna dari petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam [Zaadul Ma'aad I/201;Ighatsatul Lahfaan I/136-139;I'laamul Muwaqqi'iin II/371;Tuhfatul Maulud :93]
Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail Sulaiman al-Mishri [2] berkata : “Perbuatan seperti ini tidak benar. Tidak ada dalil dari Qur’an dan Sunnah,tidak pula dari ijma’ dan qiyas jali (qiyas yang jelas dan benar) untuk perbuatan tersebut sebab tempat niat adalah di dalam hati. Adapun anjuran Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghadirkan niat di dalam segala amalan, yaitu hadist beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya seluruh amal shaleh hanya diterima dengan niat yang ikhlas dan bagi setiap orang mendapatkan sesuai yang ia niatkan.”
Maksudnya bukan melafalkan niat dengan lisan kita, baik dengan melirihkan ataupun mengeraskannya. Tidak ada satu riwayat pun yang dinukil dari beliau bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat ketika hendak shalat dan berpuasa. Tidak pernah beliau mengucapkan : “Sengaja aku berpuasa di bulan ramadhan pada tahun ini secara sempurna tanpa kekurangan…” dan mengulang-ngulanginya setiap malam ketika bersahur atau setelah shalat tarawih. Demikian pula dalam ibadah zakat dan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita coba simak uraian pendapat para ulama salaf, sebagai orang-orang yg mengerti dan paham ttg sunnah dan perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam serta mereka adalah para mufassirin(penafsir) makna ayat qur’an maupun hadist, mengenai LAFADZ NIAT (makna lafadz niat ini secara umum meliputi niat sholat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya).

Hakekat Niat

Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata dalam kitab Majmu’atur Rasaaili Kubra I/243 : Tempatnya niat itu di hati tanpa (pengucapan) lisan berdasar kesepakatan para imam Muslimin dalam semua ibadah : bersuci (thaharah), shalat, zakat, puasa, haji membebaskan budak (tawanan) serta berjihad dan yang lainnya. Meskipun lisannya mengucapkan berbeda dengan apa yang ia niatkan dalam hati, maka teranggap dengan apa yang ia niatkan dalam hati bukan apa yang ia lafadzkan. Walaupun ia mengucapkan dengan lisannya bersama niat, dan niat itu belum sampai ke dalam hatinya, hal ini belu mencukupi menurut kesepakatan para imam Muslimin. Maka sesungguhnya niat itu adalah jenis tujuan dan kehendak yang tetap.
Sehubungan dengan masalah niat, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan di dalam kitab ‘Ighasatul Lahfan’ bahwa : “Niat artinya ialah menyengaja dan bermaksud sungguh-sungguh untuk melakukan sesuatu. Dan tempatnya ialah di dalam hati, dan tidak ada sangku pautnya sama sekali dengan lisan. Dari itu tidak pernah diberitakan dari Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam , begitu juga para sahabat, mengenai lafadz niat ini.” [3]
Sedangkan hakikat niat itu sendiri BUKANLAH UCAPAN ‘NAWAITU’ (saya berniat). Ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan terhadapnya),tetapi kadang-kdang juga sulit. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk cabang-cabang kebaikan. Barangsiapa hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk menghadirkannya. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun.Untuk menghadirkannya ia harus bersusah payah. [4]
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sendiri telah menjabarkan dgn panjang untuk penjelasan hadist “innamal ‘amalu binniyyati” dalam kitabnya “Fathul Baari bi Syarh al-Bukhari” (kitab yg menjelaskan tentang sanad & syarh dari hadist-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari), diantaranya yg bisa diambil adalah :
“Amal perbuatan adalah tergantung niatnya, dengan demikian kita dapat (dgn sendirinya) membedakan apakah niat sholat atau bukan, sholat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, di qashar atau tidak, dan seterusnya. Dan apakah masih perlu ditegaskan (kembali) jumlah rakaat sholat yang akan dikerjakan ? …Tapi pendapat yg kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yg berniat melakukan sholat qashar, ia tidak perlu (lagi) menegaskan bhw jumlah rakaatnya adalah dua, karena itu merupakan suatu hal yg pasti bahwa jumlah rakaat qashar adalah dua !”
Dan beliau juga menjelaskan makna niat dari perkataan Imam Baidhawi : “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu dgn tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Alloh dan mengamalkan segala perintah-Nya.” [5]

Masalah Bacaan Niat Dalam Shalat

Masalah malafadzkan bacaan niat dalam sholat ini, tidak ada satu orang perawi hadist pun dari 6 orang imam (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Tirmidzi, dan Ibnu Majah) yang memuat dalam Kuttubus Sittah, termasuk Imam Ahmad dalam kitab “Musnad Ahmad” dan al-Hakim dalam kitab “Mustadrak”, yang meriwayatkan tentang bacaan niat sholat begini dan begitu, dan seterusnya dengan bermacam-macam bacaan / lafadz sesuai dgn masing-masing jenis sholat.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata dalam kitab ‘Zaadul Ma’ad’ :
“Sesungguhnya Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallambila berdiri untuk bersholat, beliau berdiri dengan tegak ke arah kiblat disertai khusyu’ lalu bertakbir’Allohu Akbar’, tanpa suatu ucapan lain atau melafadzkan niat usholli lillahi, shalat ini dan itu, mustaqbilal qiblati arbaah rakaat imaaman atau makmuman, juga tidak mengucap adhaan atau qadhaan, atau fardhu atau sebagainya.” [6]
Kemudian beliau menambahkan : “Tidak mengucapkan apapun sebelumnya atau melafadkan niatnya dan tidak pula hal tersebut dianjurkan oleh para tabi’in atau imam para madzhab.”
Imam Ahmad bin Hambal mengomentari masalah niat dalam sholat dengan berkata : “Ini (melafadzkan niat usholli) adalah sepuluh macam bid’ah, tidak ada yang meriwayatkan dengan sanad shahih atau dhoif, musnad atau mursal,bahkan tidak ada seorang dari sahabatnya atau dari pada tabi’in yang mengerjakannya.” [7]
Imam An-Nawawi (salah satu imam madzhab Syafi’i) mengatakan di dalam ‘Raudhatu ‘th-Thalibin’ I/224, Al-Maktab Al-Islami : “Niat adalah maksud. Orang yang shalat hendaklah menghadirkan di dalam ingatannya dzat shalat itu sendiri dan sifat-sifatnya yang wajib ia lakukan, seperti Zhuhriyah dan Fardhiyah dan lain-lain. Kemudian, ia memasukkan pengetahuan-pengetahuan ini secara sengaja dan menghubungkan dengan awal takbir.” [8]
Muhammad Nashruddin Al-Albani;
Niat ,yaitu : menyengaja untuk shalat menghambakan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Dan tidaklah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafadzkan atau mengucapkan : “Usholli fardhu … rak’ah Lillahi Ta’ala” atau ucapan sejenisnya.
Berkata : “Rasululloh Shalallahu ‘alaihi wa sallam membuka sholat dengan kata-kata’Allohu Akbar’ (HR. Muslim dan Ibnu Majah). Di dalam hadist ini terdapat sebuah isyarat bahwasannya ia belum pernah membuka sholat dengan ucapan seperti yang mereka ucapkan ‘Nawaitu an usholli…’ (aku berniat sholat).
Bahkan telah disepakati bahwa hal ini adalah bid’ah. Dan mereka hanya berselisih apakah bid’ah seperti itu baik atau buruk. Sedangkan kami mengatakan bahwa setiap bid’ah di dalam ibadah itu adalah merupakan suatu kesesatan.berdasarkan sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat neraka tempatnya.” [8]
Dishahihkan pula oleh Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqqus Sunnah’ bahwa : “Dan ungkapan-ungkapan yang dibuat-buat dan diucapkan pada permulaan bersuci dan sholat ini, telah dijadikan oleh syaitan sebagai arena pertarungan bagi orang-orang yang diliputi was-was, yang menahan dan menyiksa mereka dalam lingkaran tersebut, dan menuntut mereka untuk menyempurnakannya. Maka anda lihat masing-masing mereka mengulang-ulanginya dan bersusah payah untuk melafadzkannya, pada hal demikian itu sama sekali tidak termasuk dalam upacara sholat.” [9]
Al-Qadhi Jamaludin Abu Rabi Sulaiman bin Umar As-Syafi’I (seorang pembesar ulama mazhab Syafi’i), ia berkata : “Mengeraskan dan membaca niat bagi makmum tidak termasuk sunnah, bahkan makruh. Jika hal itu menimbulkan gangguan (membuat bising) kepada jama’ah sholat, maka hukumnya haram.
Barangsiapa yang mengatakan bahwa mengeraskan niat adalah sunnah, maka ia keliru. Haram baginya dan lainnya berbicara dalam agama Alloh subhanahu wa ta’ala tanpa didasari ilmu. [Al A'lam 3/194 [10]
Syaikh ‘Alauddin Al ‘Athhor , belau berkata : meninggikan (niat) suara hingga menimbulkan kebisingan / gangguan kepada jam’ah sholat adalah haram secara ijma’, apabila tidak demikian (tidak menimbulkan gangguan) maka bid’ah yang keji.Jika dimaksudkan dalam melafadzkan niat itu riya’ , adalah haram dari 2 sisi yakni dosa besar dari dosa-dosa besar.
Adalah benar mengingkari orang yang mengatakan bahwa melafadzkan niat itu dari sunnah.Membenarkan (niat dengan lafadz) adalah kekeliruan, dan menisbahkan keyakinan demikian pada agama ini adalah kekufuran!!….dst. lih. Majmu Ar Rosail al Kubro 1/254 [10]
Abu Abdillah Muhammad bin Qasim at-Tunisi al-Maliki, ia berkata : “Niat termasuk amalan hati. Maka mengeraskannya adalah bid’ah dan perbuatan itu juga menganggu orang lain.”[1]
Imam Abu Dawud pernah bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, : “Apakah seorang yang hendak shalat ada membaca sesuatu sebelum takbir ?” Beliau menjawab, “Tidak ada !” [1]
Imam As-Suyuthi (salah seorang imam madzhab Syafi’i) berkata, : “Juga termasuk perbuatan bid’ah, adalah was-was di dalam niat shalat. Perbuatan ini tidak dilakukan Rasululloh dan para sahabatnya. Mereka tidak mengucapkan niat ketika shalat, melainkan hanya takbir.” [1]
Imam Asy-SYAFI’I berkata : “Was-was dalam niat shalat termasuk kejahilan tentang syariat atau kebodohan akal.” [1]
Ibnu Jauzy berkata : “Diantara tipu daya iblis adalah menipu mereka dalam niat shalat. Diantara mereka ada yang berkata, ‘Sengaja aku shalat ini dan ini,’ kemudian ia mengulanginya lagi karena ia mengira niatnya telah batal, padahal niatnya tidak gugur walaupun ia melafalkan apa yang tidak dimaksudkannya.”
______________
Referensi:
1.Secara ringkas dari Qaulul Mubin Fi Akhtahil Mushollin :Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman: edisi indonesia :Koreksi Total Ritual Shalat ,terbitan Pustaka Azzam 98-101
2.”Silsilah Al-Fatawa Asy-Syar’iyah” (edisi Indonesia) Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar’iyah oleh Syaikh Abul Hasan Musthafa bin Ismail As-Sulaiman Al-Mishri, terbitan Pustaka At-Tibyan, Penerjemah Abu Ihsan
3. “Ighasatul Lahfan”, Ibnu Qayyim al-Jauziyah
4. “Tazkiyatun Nufus : penulis : Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab, dan Imam Al-Ghazali, pengumpul : Dr. Ahmad Farid ; pentahqiq : Majid ibnu Abi Laila, hal 18 & 20.
5. “Fathul Baari bi Syarh Shahih al-Bukhari”,(edisi Indonesia) Penjelasan Kitab Shahih Bukhari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, peneliti Syaihk Abdul Aziz Abdullah bin Baz
6. “Zaadul Ma’ad”, hal 7, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, cet. ke-1, (edisi Indonesia) Duta Ilmu
7. “Syahdzaratil Balatin min Thayyibati Kalimati Salafinash Shalihin – Betulkah Sholat Anda”, hal 98, Imam Ahmad bin Hambal, cet. ke-X, (edisi Indonesia) Bulan Bintang
8. “Shifatu Sholati Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam , hal 85 & 86, Muhammad Nashruddin Al-Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh
9. “Fiqqus Sunnah”, Jilid I – Bab Fardhu Shalat, hal 286, cet. ke-V, Al- Ma’arif
10. Qawaid wal Fawaid minal Arbaina An Nawawiyah , Fati’ Muhammad Sulthan , hal 31 , cet. II/1410 H , Darul Hijroh Linnasyr wa Attazi’ Riyadh.
11. “Sifat Puasa Nabi”, oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali, (edisi Indonesia)Pustaka Al-Haura
12. “Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia”, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, (edisi Indonesia) terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 98 – 104, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc99
13. Al Umm – Imam Syafi’i – 121- 1 Maktabah Syamilah

awal mula sholat

Sejarah Sholat

ابْتِدَاءُ فَرْضِ الصّلَاةِ
وَافْتُرِضَتْ الصّلَاةُ عَلَيْهِ فَصَلّى رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَآلِهِ وَالسّلَامُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ .

( Pasal ) Permulaan Allah mewajibkan shalat kepada Rasulullah Saw. Dan waktu-waktunya.
[ تَعْلِيمُ جِبْرِيلَ الرّسُولَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ الْوُضُوءَ وَالصّلَاةَ ]

a.Malaikat Jibril mengajar Rasulullah Saw.Wudhu dan Shalat.
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَحَدّثَنِي بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنّ الصّلَاةَ حِينَ اُفْتُرِضَتْ عَلَى رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكّةَ ، فَهَمَزَ لَهُ بِعَقِبِهِ فِي نَاحِيَةِ الْوَادِي ، فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ عَيْنٌ فَتَوَضّأَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السّلَامُ ، وَرَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَنْظُرُ إلَيْهِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ الطّهُورُ لِلصّلَاةِ ثُمّ تَوَضّأَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ كَمَا رَأَى جِبْرِيلَ تَوَضّأَ ثُمّ قَامَ بِهِ جِبْرِيلُ فَصَلّى بِهِ وَصَلّى رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بِصَلَاتِهِ ثُمّ انْصَرَفَ جِبْرِيلُ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ

Ibnu Ishaq berkata bahwa sebagian orang yang berilmu berkata kepadaku,” Ketika untuk pertama kalinya shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw.,Malaikat jibril datang kepada beliau yang ketika itu sedang berada di atas gunung makkah.Malaikat jibril memberi isyarat kepada Rasulullah Saw.dengan tumitnya dilembah dan dari lembah tersebut memancarkan mata air.kemudian malaikat jibril berwudlu –sedang Rasulullah Saw.melihatnya - untuk memperlihatkan kepada beliau cara bersuci untuk shalat , kemudian beliau berwudhu seperti malaikat jibril berwudhu. Kemudian malaikat jibril berdiri dan shalat, dan rasulullah Saw.shalat seperti shalatnya malaikat jibril, setelah itu, malaikat jibril berpaling dari hadapan Rasulullah Saw.
[ تَعْلِيمُ الرّسُولِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ خَدِيجَةَ الْوُضُوءَ وَالصّلَاةَ ]

b.Rasulullah Saw.mengajari khadijah cara wudhu dan Shalat.

قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : فَجَاءَ رَسُولُ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلّمَ خَدِيجَةَ ، فَتَوَضّأَ لَهَا لِيُرِيَهَا كَيْفَ الطّهُورُ لِلصّلَاةِ كَمَا أَرَاهُ جِبْرِيلُ فَتَوَضّأَتْ كَمَا تَوَضّأَ لَهَا رَسُولُ اللّهِ عَلَيْهِ الصّلَاةُ وَالسّلَامُ ثُمّ صَلّى بِهَا رَسُولُ اللّهِ عَلَيْهِ الصّلَاةُ وَالسّلَامُ كَمَا صَلّى بِهِ جِبْرِيلُ فَصَلّتْ بِصَلَاتِهِ .
Ibnu Ishaq berkata ,” kemudian Rasulullah saw.menemui khadijah dan berwudhu untuk memperlihatkan kepadanya cara bersuci untuk shalat seperti diperlihatkan malaikat jibril kepadanya. Khadijahpun berwudhu seperti Rasulullah Saw.berwudhu untuknya. Selanjutnya Rasulullah Saw. Salat sepertimalaikat jibril shalat dengan beliau, dan khadijah shalat seperti shalat beliau.
[ اُفْتُرِضَتْ الصّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ ثُمّ زِيدَتْ ]

c.Pada Awalnya shalat diwajibkan dua rakaat kemudian ditambah
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَحَدّثَنِي صَالِحُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزّبَيْرِ ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ اُفْتُرِضَتْ الصّلَاةُ عَلَى رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَوّلَ مَا اُفْتُرِضَتْ عَلَيْهِ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ كُلّ صَلَاةٍ ثُمّ إنّ اللّهَ تَعَالَى أَتَمّهَا فِي الْحَضَرِ أَرْبَعًا ، وَأَقَرّهَا فِي السّفَرِ عَلَى فَرْضِهَا الْأَوّلِ رَكْعَتَيْنِ
Ibnu Ishaq berkata bahwa shalih bin kaisan berkata kepadaku dari urwah bin Az-Zubair dati Aisyah Ra. Yang berkata :
Untuk pertama kalinya,Shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw. Dua rakaat untuk setiap shalat, kemudian Allah Ta`alla menyempurnakannya dengan menjadikan shalat itu empat rakaat bagi orang mukimdan menetapkannya seperti sejak awal ( dua rakaat ) bagi musafir ( qashar ).
[ تَعْيِينُ جِبْرِيلَ أَوْقَاتَ الصّلَاةِ لِلرّسُولِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ ]

d. Malaikat Jibril menentukan waktu-waktu Shalat kepada Rasulullah Saw.
قَالَ ابْنُ إسْحَاقَ : وَحَدّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ مَوْلَى بَنِي تَمِيمٍ عَنْ نَافِعِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ ، وَكَانَ نَافِعُ كَثِيرَ الرّوَايَةِ عَنْ ابْنِ عَبّاسٍ قَالَ لَمّا اُفْتُرِضَتْ الصّلَاةُ عَلَى رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السّلَامُ ، فَصَلّى بِهِ الظّهْرَ حِينَ مَالَتْ الشّمْسُ ثُمّ صَلّى بِهِ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلّهُ مِثْلَهُ ثُمّ صَلّى بِهِ الْمَغْرِبَ حِين غَابَتْ الشّمْسُ ثُمّ صَلّى بِهِ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِين ذَهَبَ الشّفَقُ ثُمّ صَلّى بِهِ الصّبْحَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ ثُمّ جَاءَهُ فَصَلّى بِهِ الظّهْرَ مِنْ غَدٍ حِينَ كَانَ ظِلّهُ مِثْلَهُ ثُمّ صَلّى بِهِ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلّهُ مِثْلِيّهُ ثُمّ صَلّى بِهِ الْمَغْرِبَ حِين غَابَتْ الشّمْسُ لِوَقْتِهَا بِالْأَمْسِ ثُمّ صَلّى بِهِ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللّيْلِ الْأَوّلُ ثُمّ صَلّى بِهِ الصّبْحَ مُسْفِرًا غَيْرَ مُشْرِقٍ ثُمّ قَالَ يَا مُحَمّدُ الصّلَاةُ فِيمَا بَيْنَ صَلَاتِك الْيَوْمَ وَصَلَاتِك بِالْأَمْسِ .

Ibnu Ishaq berkata bahwa utbah bin muslim, mantan budak bani taim berkata kepadaku dari nafi bin jubair bin muth`im – nafi ini meriwayatkan banyak sekali hadits dari ibnu abbas – yang berkata :
“ ketika shalat diwajibkan kepada Rasulullah Saw.beliau didatangi malaikat jibril, kemudian malaikat jibril shalat dengan beliau ketika matahari condong kebarat ,kemudian malaikat jibril mengerjakan mengerjakan shalat Ashar dengan beliau ketika bayangan benda sama persis dengan bendanya, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat maghrib dengan beliau ketika matahari telah terbenam, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat isya` dengan beliau ketika sinar merah mataharisetelah terbenam telah hilang, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat shubuh dengan beliau ketika fajar menyingsing.Esok paginya, malaikat jibril datang lagi kepada beliau lalu mengerjakan shalat dhuhur dengan beliau ketika bayangan persis seperti dirinya, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat ashar bersama beliau ketika bayangan seseorang dua kali lebih panjang, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat mgrib bersama beliau ketika matahari telah terbenam sama seperti kemarin, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat isya` bersama beliau setelah sepertiga malam pertama berlalu, kemudian malaikat jibril mengerjakan shalat shubuh bersama beliau ketika fajar belum menyingsing. Setelah itu, malaikat jibril berkata, hai Muhammad waktu shalat adalah pertengahan di antara shalatmu hari ini dan shalatmu kemarin

kronologi rukuin islam dan iman

Rukun iman yang enam itu secara lengkap terdapat di dalam sebuah hadits yang amat terkenal dan juga shahih. Keshahihannya tidak diragukan lagi oleh para ulama. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menempatkannya dalam urutan pertama dalam susunan hadits arba’in (40 hadits utama).
Salah satu petikannya adalah:“Iman adalah percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan kepada Qadar baik dan buruk-Nya dari Allah taala. (HR. Muttafaq ‘alaihi)
Mengapa Ragu?
Sebenarnya anda tidak perlu ragu-ragu dengan hadits nabawi yang beredar sekarang maupun di masa lalu. Sebab sejak fajar Islam menyingsing di masa lalu, Allah sudah menjamin keaslian agama ini dari kemungkinan dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Shahih tidaknya suatu hadits bisa dengan mudah kita lihat dari perawinya. Lagi pula kita masih punya banyak ulama hadits, yang bisa dengan mudah kita tanya dan minta penjelasan tentang keshahihan suatu hadits.
Khususnya dalam pemeliharaan keaslian sunnah nabawiyah, Allah SWT berkenan membangkitkan dari putera-putera Islam, orang-orang yang menjadi pemelihara, pembela dan pelindungnya. Mereka telah melakukan penelusuran riwayat tiap-tiap hadits nabawi yang ada. Bahkan mereka berhasil mendirikan sebuah disiplin ilmu mandiri yang kita kenal dengan ilmu riwayat.
Ilmu seperti ini tidak pernah ditemukan sebelumnya dan sesudahnya, bahkan di luar dunia Islam sekalipun. Bayangkan, bagaimana di masa itu dengan media informasi yang terbatas, para ulama mengadakan tour abadi untuk mengejar keshahihan sebuah hadits, dari satu negeri ke negeri yang lain. Dengan menggunakan metodologi yang nyaris tidak pernah terpikirkan oleh ilmuwan dari dunia barat.
Intinya, mereka menggunakan dua parameter. Pertama, dengan melihat kondisi ke-dhabit-an perawi. Ini untuk memastikan apakah seorang yang meriwayatkan sebuah hadits memang seorang yang punya kemampuan untuk menghafal hadits yang disampaikannya itu dengan benar, baik pada matan (redaksi) maupun pada jalur (sanad) periwayatannya. Adakah seorang perawi memenuhi segala macam persyaratan yang sangat berat itu.
Dari sini akan ketahuan apakah riwayat suatu hadits benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya atau tidak. Bila perawi ketahuan sebagai orang yang kurang hafalannya, atau tidak mampu menyebutkan jalur periwayatannya secara pasti, maka haditsnya itu akan dibuang ke tempat sampah.
Apalagi bila sampai ketahuan bahwa hadits itu tidak punya asal-usul, alias hadits palsu. Tentu dengan mudah akan segera ketahuan.
Kedua, paramater yang digunakan adalah sisi ‘adaalatur-rawi, yaitu penilaian terhadap pribadi si perawi. Benarkah dirinya seorang muslim yang serius menjalankan agama atau tidak? Yang dinilai adalah aspek aqidah, syariah dan akhlaq si perawi. Bahkan termasuk muru’ah yang sering dianggap agak sepele, ternyata turut dijadikan ukuran keshahihan suatu hadits.
Seringkali disebutkan bahwa bila seorang perawi punya akhlaq yang kurang baik, atau mengerjakan hal-hal yang mengurangi muru’ah-nya, maka nilainya akan dikurangi secara sangat signifikan.
Para perawi itu dari level terakhir hingga ke level pertama, yaitu di tingkat shahabat sebelum sampai kepada Rasulullah SAW, lalu didata dan ditabulasi sedemikian rupa dalam ratusan kitab terkenal. Kondisi hafalan mereka, kemampuan mereka dalam menyimpan, bahkan sifat-sifat mereka, semua terdata dengan rapi di dalam database para ulama.
Kitab-kita yang memuat data para perawi itu dikenal sebagai kitab rijalul hadits. Kitab-kitab seperti ini barangkali kurang populer di kalangan awam. Bahkan kalau anda cari di toko buku di Indonesia, penjualnya pun akan kebingungan. Namun ketahuilah, bahwa semua data mereka sudah tercatat dengan rapi.
Tinggal para ulama hadits melakukan penelitian atas masing-masing hadits itu dengan dilakukan penilaian pada para perawinya. Namun di dalam catatan mereka, tiap hadits itu sudah terlacak dengan jelas peta penyebarannya, mulai dari mulut Rasulullah SAW ke generasi pertama (shahabat), lalu ke generasi kedua (tabi’in), lalu ke generasi ketiga (atba’ut-tabi’in), lalu ke generasi berikutnya lagi. Tugas para ulama di masa itu tinggal melakukan dua sisi penilaian utama dari masing-masing orang itu. Salah satu hadits itu adalah hadits berikut ini:
Rasululah SAW bersabda,"Bila salah seorang dari kamu bangun dari tidurnya, maka hendaklah dia mencuci tangannya, karena dia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”.
Di tangan para ulama sudah ada peta penyebaran hadits itu. Pada level pertama (tabaqah ula), hadits inidisampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para shahaat. Tercatat ada 5 orang shahabat yang berbeda yang menyampaikan kembali hadits ini. Mereka adalah:
  1. Abu Hurairah ra
  2. Ibnu Umar ra
  3. Jabir bin Abdillah ra
  4. Aisyah ra
  5. Ali bin Abi Thalib ra
Kemudian, masing-masing shahabat meriwayatkan kembali hadits yang pernah didengarnya langsung dari Rasulullah SAW. Salah seorang dari shahabat itu, yaitu Abu Hurairah ra kemudian meriwayatkan hadits ini kepada orang lain. Tercatat ada 13 orang pada level kedua yang mendapatkan hadits ini dari Abi Hurairah. Mereka adalah para tabi`in.
Kemudian hadits ini bisa dilacak lagi ke bawah, di mana kita bisa dengan mudah mengetahui bahwa ke-13 orang ini lalu menyebar ke berbagai penjuru dunia. Dalam database tercatat dari 13 orang itu ada 8 orang yang menerima hadits ini dan tinggal di Madinah, ada satu orang tinggal di Kufah, ada 2 orang tinggal di Bashrah, satu orang tinggal di Yaman dan seorang lagi tinggal di Syam.
Kemudian ke 13 tabi`in ini lalu meriwayatkan lagi hadits itu kepada generasi berikutnya (level ketiga), yang kita sebut sebagai atba`ut-tabi`in. Dan jumlah mereka menjadi 16 orang. Detailnya adalah ada 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang di Bashrah, 2 orang di Kufah, 1 orang di Makkah, 1 orang di Yaman, 1 orang di Khurasan dan 1 orang di Himsh Syam.
Maka amat mustahil ke 16 orang yang domisilinya terpencar-pencar di beragam ujung dunia itu pernah berkumpul bersama pada suatu saat untuk membuat hadits palsu bersama yang redaksinya sama. Atau mustahil pula mereka masing-masing di rumahnya membuat hadits lalu kebetulan semua bisa sama sampai pada tingkat redaksinya.
Padahal ke 16 orang itu baru dari jalur Abu Hurairah saja. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan yang dari ke 4 shahabat lainnya, maka jumlahnya akan menjadi lebih banyak.
Pesan Buat Para Pengingkar Hadits
Para pengingkar hadits dari kalangan muslimin sebenarnya perlu membuka mata untuk tahu dari manakah sebenarnya pemikiran keliru itu mereka lahap. Tidak lain dari para orientalis yang sejak awal sudah punya niat tidak baik terhadap Islam.
Seharusnya mereka perlu sedikit lebih mawas diri untuk belajar dan memperdalam ilmu agama secara benar, agar tidak terlalu mudah terlena dengan bujuk rayu musuh Islam.
Sayangnya kebanyakan mereka justru terlalu awam dengan ajaran Islam, ditambah terlalu mudah terpesona dengan apa yang lahir dari mulut musuh-musuh Islam. Seolah-olah barat itu sumber kebenaran satu-satunya.