Rabu, 05 Juni 2013

Ponpes Tebu Ireng Jombang


Ponpes Tebuireng, Pencetak Ulama Hebat



Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng Jombang, yang berada di Desa Cukir Kecamatan Diwek merupakan salah satu pesantren yang menjadi kiblat bagi beberapa pesantren di

Indonesia. Hal ini disebabkan banyak alumni pondok pesantren ini, tersebar di seluruh penjuru nusantra, bahkan di beberapa negara.

Tak jarang pula banyak beberapa alumninya duduk di jajaran birokrasi baik tingkat daerah maupun pusat. Terlebih ditempat ini pula lahir organisasi Islam yang cukup besar, Nahdlatul Ulama (NU). Maka tak heran banyak yang menyebut Ponpes Tebuireng adalah porosnya dunia pesantren di Indonesia.

Padahal, sebelumnya kawsan Tebuireng ini, merupakan kawasan yang terkenal dengan kawasan hitam. Apalagi kultur masyarakat sekitar yang nota bene adalah penyewa lahan tebu dan mempunyai kebiasaan berjudi, mabuk, main perempuan dan merampok (molimo), dapat di ubah dengan hadirnya cahaya Islam melalui syiar yang dibawa KH Hasyim Asy'ary sebagai pendiri pondok pesantren ini.

Dalam Mewujudkan cita-citanya, Kyai Hasyim memiliki suatu pedoman, “Menyiarkan agama Islam artinya memperbaiki manusia. Jika manusia itu sudah baik, maka akan banyak menghasilkan berbagai kebaikan yang lain. Berjihad artinya menghadapi kesukaran dan memberikan pengorbanan, contoh-contoh ini telah diberikan oleh nabi kita dalam perjuangannya”.

Kyai Hasyim sendiri mengawali membangun pondok pesantren dengan membeli tanah seluas 200 m2 di Tebuireng milik seorang dalang terkenal. Di atas tanah tersebut kemudian didirikan pondok, yang hanya berupa bedeng berbentuk bujur sangkar, di sekat menjadi dua ruangan. Bagian belakang sebagai tempat tinggal keluarganya, sedangkan yang lain untuk tempat shalat dan belajar para santri yang berjumlah 28 orang. Fasilitas yang sangat sederhana tidak mengurangi semangat Kyai Hasyim dalam membimbintg para santri menuntut ilmu dalam bentuk pengajian kitab-kitab agama.

Pada awal berdirinya pesantren Tebuireng kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitar dan bahkan menumbuhkan rasa kebencian. Sehingga muncul gangguan dari masyarakat yang harus dihadapi oleh Kyai Hasyim. Meskipun rintangan yang menghadang amat berat, namun Kyai Hasyim dan para santrinya mampu mengatasinya.

Selain itu, hidup dalam pemerintah kolonial membuat Kyai Hasyim berprinsip ‘berdikari’, artinya tidak menggantungkan bantuan orang lain. Apalagi mereka yang tidak seirama dan seagama. Dengan semangat berkorban dan penuh pengabdian, KH Hasyim terus membina Pondok Pesantren Tebuireng hingga berkembang menjadi lembaga pendidikan Islam yang besar.

Prinsip yang dikembangkan adalah mengutamakan kepentingan pesantren daripada kepentingan diri sendiri. Karena itulah, dari sisi ekonomi tetap memiliki usaha di luar pesantren, yang di waktu senggang di sela-sela mengajar Kyai Hasyim menyempatkan diri mengerjakan sawah pertanian dan juga melakukan perdagangan keluar daerah

Sementara untuk membangun sistem pendidikan di ponpes yang dipimpinnya, KH. Hasyim Asy'ari, secara khusus meminta bantuan kawan-kawannya dari daerah Cirebon menata pendidikan pesantren seluas 4,5 hektare tersebut. Maka, mulai tahun 1916 pesantren yang terletak di sebelah selatan kota Jombang ini sudah menerapkan sistem pendidikan madrasi. Kemudian atas prakarsa putra KH. Hasyim Asyari, KH. Wahid Hasyim, tahun 1934 didirikan madrasah nidzamiyah yang sudah mengajarkan pelajaran berhitung, bahasa melayu, sejarah, ilmu bumi, bahkan Bahasa Belanda.

Setelah KH. Hasyim Asy'ari wafat tahun 1947, KH. Wahid Hasyim naik ke tampuk pimpinan pesantren hingga kemudian diangkat menjadi menteri agama RI. Ponpes Tebuireng kemudian dipegang oleh KH. Ahmad Badlowi (ipar KH. Wahid Hasyim) dan KH. A. Karim Hasyim (adik). Sepeninggal KH. Wahid Hasyim yang wafat tahun 1953, hingga tahun 1965 Tebuireng dipegang KH A. Kholiq Hasyim.

Mulai 1965, Ponpes Tebuireng dipimpin KH.Yusuf Hasyim (putra bungsu KH.Hasyim Asy'ari). Sejak itu era baru dimulai, yakni sistem kepemimpinan pesantren secara kolektif, dengan membentuk Dewan Kyai, Lajnah Tarbiyah wat Ta'lim dan organisasi santri. Selain menyelenggarakan Madrasah Ibtidaiyah, Tsanwiyah dan Aliyah, juga diadakan sekolah dengan nama SMP dan SMA Wahid Hasyim serta Universitas Hasyim Asy'ari.

Pengajian kitab yang diajarkan adalah kitab Fathul Qarib, Fathul Wahab, Muhadzab, Manhaj Dzawinnazhar, Jam'ul Jawami, tafsir Ibnu Katsier, Munir, Sahih Bukhari Muslim dan lain-lain. Fasilitas yang disediakan berupa perpustakaan (dengan ribuan buku), unit dokumentasi dan pengembangan informasi, program pelatihan jurnalistik dan dinamika santri. Karena prestasinya itu pula, Menteri Agama Munawir Syadzali dan Menpen Harmoko, menunjuk Ponpes Tebuireng sebagai salah satu Pusat Informasi Pesantren (PIP).

Seiring dengan perkembangan zaman, mulai 1970-an Ponpes Tebuireng mengembangkan beberapa jalur pendidikan formal. Pertama, jalur pendidikan formal yang berbentuk adalah Salafiyah disempurnakan. Kedua, jalur sekolah persiapan yang dirintis tahun 1970, dimana santri putus sekolah (drop out) dari sekolah-sekolah umum (seperti SMU, SMP) memperoleh ajaran agama secara khusus. Sekolah ini lama belajarnya 2 tahun, sebelum santrinya resmi memasuki jalur pendidikan agama.

Ketiga, jalur SMP dan SMA A. Wahid Hasyim yang dibuka tahun 1975. Tujuannya adalah untuk menampung mereka yang ingin bersekolah umum, dengan tetap memperoleh pelajaran agama dalam bentuk pengajian atau kursus. Bagi santri Tebuireng yang mau berminat melanjutkan belajar ke perguruan tinggi, juga telah dirintis Universitas Hasyim Asy’ari pada tahun 1967 dengan Fakultas Syari’ah, Da’wah dan Tarbiyah yang sekarang berubah menjadi Institut KeIslaman Hasyim Asy’ari (IKAHA) dengan tiga Fakultas Syari’ah, Dakwah dan Tarbiyah.

Dan, pada tahun 2006 dibuka jenjang pendidikan Ma’had Aly (setingkat perguruan tinggi) yang disediakan khusus untuk santri-santri dengan kualifikasi dan kemampuan tertentu. Proses seleksi penerimaannya pun ketat. Jenjang pendidikan ini didirikan semasa kepemimpinan KH. Ir. Salahuddin Wahid setelah melihat semakin menurunnya kualitas santri dalam memahami dan mendalami kitab klasik yang menjadi rujukan pesantren selama ini.

Disamping disediakan lembaga pendidikan formal, juga disediakan sarana penunjang kegiatan untuk kelancaran belajar para santri. Misalnya Koperasi Pondok Pesantren (1973), Perpustakaan A. Wahid Hasyim (1974), Pusat Data Pesantren (PDP) 1977, Usaha Kesehatan Pondok Pesantren, Koperasi Jasa Boga (1993), Warung Telekomunikasi (1994), dan Warung Internet (1998).

Hingga saat ini, sepeninggal KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) berpulang, tampuk kepemimpinan di pegang langsung oleh KH Solahuddin Wahid. Di bawah kepemimpinannya, pondok pesantren Tebuireng berkembang dengan pesat. Hal ini, terbukti dengan di bangunnya Asrama Haji Kalla, yang mulai daibangun ketika ada Kinjungan Wapres H Yusuf Kalla, beberapa waktu lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar